Pengantar
Filantropi berasal dari bahasa philanthropia atau dalam bahasa Yunani philo dan anthropos yang berarti cinta manusia. Filantropi adalah bentuk kepedulian seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain berdasarkan kecintaan pada sesama manusia (Hilman, 2010 : 34). Tradisi kepedulian ini sebenarnya sudah lama berjalan ditiap dimensi kehidupan manusia, baik yang bersifat individu maupun institusional. Keberadaan kegiatan filontropi ini sudah berjalan dalam bentuk seperti kegiatan sosial, bakti sosial, santunan yatim piatu, pengobatan gratis, bantuan kemanusian bencana alam dan lain sebaginya. Terlepas dari mana istilah tersebut berasal, sebenarnya pelayanan terhadap kemanusian merupakan hal yang tak bisa ditolak, sebagai bentuk sikap kepedulian dan peka terhadap problem kemanusiaan. Dalam ajaran Islam pun juga ditegaskan begitu pentingnya kepedulian sosial, misalnya melalui kewajiban zakat, infaq dan shadaqah yang diperuntukan bagi kaum dhu’afa, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki kepedulian sosial dimasukan kategori orang yang mendustakan agama (baca : al-Qur’an surat al-Ma’un).
Berdasarkan hasil
riset PIRAC (Public Interest
Research and Advocacy Center),
setelah tahun 1998 kegiatan filantropi begitu luar biasa berkembang terutama
pada saat muncul krisis politik dan diikuti krisis ekonomi, serta bencana
terjadi di mana–mana. Hal ini mendorong masyarakat kita lebih peduli dan banyak
menyalurkan sumbangan. Kondisi itulah yang memunculkan inisiatif dari beberapa
kelompok masyarakat untuk mendirikan berbagai lembaga atau program penggalangan
dana. Mulai tahun 1998 hingga sekarang muncul lembaga atau program
tersebut, seperti dompet media yang berada di berbagai media. Diluar itu,
muncul lembaga amil zakat, dompet duafa, rumah zakat, dan lain–lain. Kepasrahan dan ketidakberdayaan
manusia atas kekalahannya dalam konstelasi kompetisi global mengakibatkan
jurang kemiskinan semakin tampak terang benderang, semakin terlihat jelas
strata sosial dalam kehidupan masyarakat, antara yang kaya dan miskin, dan
akibat dari percaturan dunia global ini mengakibatkan munculnya problematika
kemanusian ketika berhadapan dengan dinamika kehidupan masyarakat, yang salah
satunya adalah munculnya fenomena anak jalanan.
Istilah anak jalanan belum tercantum dalam Undang-Undang Dasar kita, namun dalam Pasal 34 UUD ‘45 disebutkan bahwa : “Fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dalam konteks ini penting untuk
dicermati yaitu siapakah yang dimaksud dengan “anak terlantar”, apakah masuk didalamnya “anak jalanan”? Jika mereka yang termasuk
anak jalanan itu mereka yang tidak mempunyai orang tua, atau tidak mendapatkan
perhatian orang tua, tidak berada dalam perwalian, apalagi masa depan
kehidupannya pun tidak jelas, kesejahteraannya pun memprihatikan, maka sebenarnya
mereka itu termasuk anak terlantar yang seharusnya mendapatkan perhatian dari
negara. Terlepas persoalan memasukan anak jalanan dalam kategori anak
terlantar, faktanya mereka adalah bagian dari fenomena kehidupan saat ini, yang
keberadaannya tentu perlu mendapat perhatian dan kepedulian kita semua, baik
dari segi kesejahteraan, perkembangan psikologis, perhatian sampai dengan
tingkat pendidikan mereka. Sikap yang demikian ini menunjukan adanya mentalitas
filantropi ketika melihat fenomena kehidupan anak jalanan yang terkadang
memprihatinkan, baik kebutuhan jasasmani, apalagi kebutuhan ruhani spiritulnya.
Sikap filantropi sebenarnya selalu ada sepanjang
perjalanan hidup manusia, terutama dalam ajaran Islam, yang dapat menjadi kekuatan,
sumber inspirasi dan dapat menjadi ilham, bahwa seorang muslim memiliki tanggung
jawab terhadap muslim yang lain—termasuk dalam konteks kemanusiaan tanpa harus
memandang suku, budaya dan agamanya. Dan kegiatan filantropi modern di
indonesia sebenarnya sudah diawali oleh beberapa organisasi keagamaan, misalnya
NU, Muhammadiyah, Hidayatullah dan lainnya, serta beberapa LSM yang mempunyai
empati dan mental altruisme terhadap kondisi masyarakat yang diakibatkan adanya
ketimpangan sosial. Disinilah pentingnya untuk meneguhkan kembali visi filantropi
terutama dalam ajaran Islam yang mampu menjadi daya dorong munculnya kesadaran
untuk melakukan pendampingan, perhatian dan empati terhadap masa depan mereka.
Anak jalanan, juga merupakan bagian dari anak bangsa yang perlu mendapatkan
perhatian bagi semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat luas yang
memiliki kepekaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaannya.
Anak Jalanan
Setiap manusia yang hidup di dunia ini tentu mempunyai
harapan yang besar untuk menjadi seorang yang mampu meraih kebahagian, yang
ditandai dengan tingkat kesejahteraan dan kedamaian dalam menjalani
kehidupannya. Kebahagiaan hidup tentu saja amat relatif tergantung pada cara
pandang dan suasana hati dalam memaknai arti penting kebahagian bagi dirinya,
sehingga parameternya pun antara yang satu dengan lainnya tentunta berbeda,
atau dengan kata lain tidak bisa diukur secara materi, dan tergantung pada
kondisi batiniyah dan kemampuan akalnya.
Begitu juga hidup untuk menjadi anak jalanan sebenarnya bukanlah
sebagai pilihan hidup yang menyenangkan, melainkan keterpaksaan yang
harus mereka terima karena adanya sebab tertentu, yang kemungkinan akibat dari
adanya ketimpangan sosial-ekonomi, kehidupan rumah tangga harmonis, dan yang
lainnya. Terlepas dari penyebab keberadaanya, anak jalanan bagaimanapun telah
menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Pada dataran psikologis,
mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai kondisi mental
emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut
dengan dunia jalanan yang menantang, keras dan cenderung berpengaruh
negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Kondisi psikologis ini tentu saja bisa berakibat pada dataran kehidupan sosial. Kondisi emosi dan mentalitas yang masih labil, apalagi
dibarengi dengan penampilan yang terlihat kumuh, jorok dan bebas, tentu saja akan melahirkan
pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan. Citra negatif tersebut kemudian
melahirkan identifikasi terhadap anak jalanan itu digambarkan anak yang suka
membuat onar, anak-anak kumuh, broker,
suka mencuri, mabuk-mabukan, dan dicap sebagai sampah masyarakat yang harus
diasingkan. Stigmasi masyarakat yang demikian ini, kemungkinan justru akan menjadi
pemicu munculnya perasaan teralienasi dari kehudupan sosialnya, dan pada
gilirannya akan melahirkan kepribadian introvet, cenderung sukar
mengendalikan diri dan asosial.
Anak
jalanan dilihat dari sebab dan intensitas mereka berada di jalanan memang tidak
dapat disamaratakan. Dilihat dari sebab, sangat dimungkinkan tidak semua anak
jalanan berada dijalan karena tekanan ekonomi, boleh jadi karena pergaulan,
pelarian, tekanan orang tua, atau atas dasar pilihannya sendiri.
Keberadaan
anak jalanan merupakan fenomena yang
hampir muncul di kota-kota seluruh Indonesia. Kepekaan dan kepedulian sosial kepada mereka seharusnya dipertajam dengan memperhatikan dan memberikan
pendampingan terhadap pendidikan, moralitas dan kesejahteraan hidupnya, yang
pada gilirannya mempunyai profesi dan kemandirian yang mampu menopang
kehdupannya menjadi lebih baik untuk menghilangkan stigmasi masyarakat sebagai
kelompok yang hanya bikin onar dan sampah masyarakat. Bagaimanapun mereka adalah
entitas anak bangsa yang
merupakan karunia Ilahi dan amanah yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia yang harus dihargai dan dijunjung
tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana yang
tercantum dalam UUD 1945, UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan
Convention on the right of the child ( Konvensi tentang Hak-hak Anak).
UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan,
yaitu : Street child are those who have abandoned their homes, school and
immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted
into a nomadic street life (anak jalanan merupakan anak-anak berumur dibawah 16
tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan
masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan
raya (H.A Soedijar, 1988 : 16).
Menurut Yayasan Kesejahteraan
Anak Indonesia ( 1999 ; 22-24 ) anak jalanan dibedakan menjadi 4 kelompok,
yaitu : 1). Anak-anak yang tidak
berhubungan lagi dengan orang tuanya ( children of the street ). Mereka tinggal
24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang
hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan
oleh factor social psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan,
penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah,
kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka. 2). Anak-anak yang berhubungan
tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (
children on the street). Mereka seringkali diindentikan sebagai pekerja migran
kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya
mereka bekerja dari pagi hingg sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong,
pengamen, tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di
lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya. 3). Anak-anak yang berhubungan
teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam
dijalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa
teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas
usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran. 4). Anak-anak jalanan yang
berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau
masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang
SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa ( orang tua
ataupun saudaranya ) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir
sepatu, membawa barang belanjaan ( kuli panggul ), pengasong, pengamen,
pengemis dan pemulung.
Sementara itu menurut Menteri Kesejahteraan Sosial
Republik Indonesia mendefinisikan anak jalanan sebagai berikut: 1). Anak jalanan adalah
anak-anak yang hidup di jalanan, putus sekolah, dan tidak lagi memiliki
hubungan dengan keluarganya. 2). Anak jalanan adalah
anak-anak yang hidup di jalanan, putus sekolah, dan tetapi masih memiliki
hubungan dengan keluarganya, meskipun hubungan tersebut tidak berlangsung
dengan teratur. 3). Anak jalanan adalah anak-anak yang bersekolah dan anak
putus sekolah yang meluangkan waktunya di jalanan tetapi mesih memiliki
hubungan yang teratur dengan keluarganya.
Berdasarkan beberapa definisi
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang
meluangkan mayoritas waktunya di jalanan, baik untuk bekerja maupun tidak, baik
yang masih sekolah maupun tidak sekolah, dan masih memiliki hubungan dengan
keluarganya maupun tidak lagi memiliki hubungan dengan keluarganya.
Survey yang dilakukan oleh
Menteri Kesejahteraan Sosial dan Pusat Penelitian Universitas Atmajaya pada
tahun 1999 dalam kaitannya dengan pemetaan terhadap anak jalanan di mana
hasilnya mengungkapkan bahwa mayoritas anak jalanan (60%) telah menjalani
kehidupannya sebagai anak jalanan selama lebih dari 2,5 tahun, 17,4% di
antaranya telah hidup di jalanan kurang dari 2 tahun, 6,8% bahkan telah
menjalani kehidupan di jalanan selama 6-9 tahun, dan 6,8% lainnya bahkan telah
hidup di jalanan selama lebih dari 10 tahun. Berdasarkan pengamatan NGO dan pekerja sosial,
menunjukkan bahwa semakin lama seorang anak hidup di jalanan maka semakin sulit
untuk mengentasnya dari jalanan. Jika seorang anak telah menjalani kehidupannya
di jalanan lebih dari 2 tahun maka biasanya anak-anak tersebut telah menjadi
terbiasa atau telah beradaptasi dengan kehidupan di jalanan. Anak-anak tersebut
telah melakukan perubahan pada sikap dan perilaku sebagai upayanya untuk
menghadapi kekerasan di jalanan, eksploitasi, dan mengatasi bahaya. Di samping
situasi buruk yang telah akrab dengan kehidupan anak jalanan tersebut, biasanya
anak-anak tersebut telah menikmati kehidupannya di jalanan. Pada umumnya
anak-anak tersebut merasa senang menikmati kebebasan yang dirasakan dalam
kehidupan jalanan, mudah mendapatkan uang, menggunakan uang tersebut untuk
kepentingan sendiri dengan sesukanya, dan menikmati kehidupan
kesehariannya dengan apa yang disukainya sepanjang hari.
Berdasarkan hasil survey juga menunjukkan
bahwa beberapa aktivitas utama yang dijalani oleh anak-anak jalanan tersebut
antara lain adalah sebagai pengamen (52,8%), pedagang asongan (19,3%), pemulung
(8,7%), buruh angkut (3,1%), penyemir sepatu (3,1%), pengemis (2,5%), pengawas
parkir (1,9%), broker (1,2%), menyewakan payung (1,2%), pencuci mobil (0,6%),
and “joki” (biasanya berada di kawasan three-in-one pada jam-jam tertentu untuk
mengurangi kemajetan lalu lintas) sebanyak 0,6%.
Hasil penelitian di atas
memperlihatkan bahwa kehidupan anak jalanan itu menjalani hidupnya sangat
beragam. Sebagian diantara mereka harus mempertahankan hidupnya dengan cara yang
kurang bisa diterima masyarakat. Tantangan hidup para anak jalanan pada umumnya
memang berbeda dengan kehidupan normal
yang ada di masyarakat. Mereka terkadang hidup dan berkembang di bawah tekanan
stigma masyarakat sebagai kelompok pengganggu ketertiban, onar, bebas dan tidak
mau diatur. Perilaku anak jalanan tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi
logis dari stigma sosial dan keterasingannya dalam masyarakat. Tidak ada yang
berpihak kepada anak-anak tersebut dan bahkan, sebenarnya perilaku anak-anak
tersebut mencerminkan perilaku masyarakat dalam memperlakukannya, serta
‘harapan’ masyarakat terhadap perilakunya (Suyanto dan Sri Sanituti, 2001).
Perilaku mereka yang
berbeda dengan kehidupan normal kebanyakan masyarakat, terkadang mendapat
perlakuan dan tindakan yang kasar terutama dari aparat pemerintah, misalnya
Satpol PP dan Kepolisian. Perlakuan terhadap anak jalanan yang represif yang
menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan dunia kriminal dengan cara merazianya,
kemungkinan pada satu sisi dianggap sebagai langkah yang tepat. Namun, sebenarnya
pada sisi lain, jika tindakan tersebut dilakukan dengan hati nurani dan sikap
empati, maka bisa jadi perlakuan represif tersebut bukan merupakan perlakuan dan
solusi yang tepat. Akan tetapi, memperlakukan mereka dengan memberikan belas
kasih yang berlebihan sebenarnya juga bukan merupkan solusi jitu, karena
anak-anak tersebut bukan anak-anak yang perlu dibelaskasihani, tetapi yang
diperlukan adalah kebutuhan sebagaimana kebutuhan anak-anak pada umumnya, yaitu
perlindungan, kasih sayang, dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, pendekatan
yang bersifat edukatif perlu dikedepankan dalam rangka menyiapkan mental dan
kemandirian mereka, serta pengakuan, penerimaan, dan dukungan bagi kesetiaannya
dalam menjalani kehidupan.
Filantropi sebagai kunci
Hal yang tidak boleh kita
lupakan bahwa ajaran Islam menganjurkan untuk menumbuhkan rasa cinta berupa
sikap saling tolong-menolong dan larangan berbuat aniaya, serta memaksimalkan karunia
yang diberikan Allah, juga ajakan untuk menghilangkan sikap kebencian (baca :
Surat al-Maidah : 2). Hal yang perlu diingat, manusia akan diabadikan dalam kenangan manakala apa yang diperbuatnya
mampu memberikan kemshlahatan dan manfaan bagi dirinya dan masyarakat luas.
Seperti halnya, gajah mati meninggalkan gading, seekor meninggalkan cul dan
bunga yang mewariskan keharumannnya.
Sikap filantropi merupakan
kunci untuk mengembangkan budaya saling memberi, mencintai dan mengasihi
terhadap sesama umat manusia. Apabila hal tersebut dapat terealisasi secara
simultan dan terorganisir, maka problem yang terkait dengan kemanusian dapat
teratasi. Tentu saja sikap yang demikian ini harus dimaknai lebih luas, yang
tidak hanya terbatas pada persoalan sosial keagamaan, baik yang berkaitan
dengan sikap bermuarah hati, ramah, kasih sayang maupun sikap yang empati,
peduli dan peka terhadap sesama. Sikap filantropi hakekatnya berangkat dari
cinta, bergerak ke arah cinta, memiliki visi dan misi cinta dan menghasilkan rasa
cinta kasih pada sesama.
Pada dataran das sein,
banyak problem kemanusian yang seharusnya mendapat perhatian yang serius dari
berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat luas terkait dengan
pengangguran, kemiskinan, kelaparan, kerusuhan, rendahnya solidarias sosial,
tercabik-cabiknya nilai-nilai kerukunan dan kebersamaan, dan berbagai problem
kemanusian lainnya, termasuk bermunculannya anak jalanan, yang tentunya begitu
memilukan ditengah-tengah kehidupan berbangsa yang konon kaya akan nilai-nilai
luhur peninggalan nenek moyang, sarat dengan norma agama, serta kekayaan alam
yang melimpah, seolah-olah persoalan tersebut sudah tidak menarik lagi untuk
diperbincangkan, terlebih untuk dicarikan solusi pemecahannya. Pada hal sikap
dasar manusia adalah cenderung bermurah hati, cinta kasih dan harmonis dalam
menjalani kehidupannya, yang pada kenyataannya telah berpindah pada pola
kehidupan individualis, materialis dan hedonis, yang tidak mengindahkan lagi
sikap empati dan peka terhadap keberlangsungan kehidupan sesama manusia.
Sedangkan pada dataran das solen, sikap filantropi terkadang belum mampu
menyelesaaikan akar permasalahan, karena lebih didasarkan pada kepentingan
sesaat, kebijakan yang hanya untuk memuaskan pihak tertentu dan atas nama
kekuasaan. Disinilah pentingnya kita meneguhkan kembali visi filantropi yang
terkandung dalam ajaran Islam yang lebih transformatif, progresif,
implementatif dan membumi yang bisa menyelesaikan problematika kehidupan.
Ziaul Haque dalam bukunya Revelation
and Revolution in Islam menjelasan tiga raison d’etre peran nabi
diutus kepada umat manusia ; pertama, untuk menyatakan kebenaran ; kedua,
untuk melawan kepalsuan (kebatilan) dan penindasan (kedhaliman) ; dan ketiga,
untuk membangun komunitas yang hidup atas dasar kesetaraan sosial, kebaikan,
keadilan dan kasih sayang. Ketiga alasan tersebut pada dasarnya secara
eksplitit-eksoteris tertuang dalam al-Qur’an. Dengan ini dapat dipahami, bahwa
para nabi adalah sosok revolusioner yang dimunculkan Allah untuk menciptakan
sejarah manusia, dengan mengemban misi sosial religius dengan berusaha
mentransformasi sosial yang memebebaskan dan membela bagi mereka yang
disubordinasi dan dihegemoni oleh sebuah struktur kekuasaan, termasuk
didalamnya struktur sosial yang hegemonik dan diskriminatif.
Revolusi yang digerakkan
oleh para nabi bertujuan untuk melawan diskriminasi, dominasi, subordinasi dan
manipulasi kesadaran. Meraka menjadi inspirator, pejuang dan penggerak dalam
memerangi kelompok-kelompok tiranik dan dzalim, misalnya nabi Musa yang
berusaha melawan kekuasaan Fir’aun yang arogandan tiranik. Nabi Musa dalam hal
merupakan representasi kekuatan pembela hak-hak rakyat, buruh, perempuan,
perempuan, dan kelompok minoritas (baca: anak jalanan). Begitu juga nabi
Muhammad Saw, mengemban misi ajaran Islam dengan membela, menyelamatkan,
membebaskan, memuliakan dan melindungi orang-orang yang tertindas. Kehadiran
nabi Muhammad di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyah, yang tidak
mengindahkan norma kemanusian, mendapatkan apresiasi positif karena
kehadirannya menjadi sosok yang menunjukan pembelaan terhadap mereka yang
tertindas, kaum dhu’afa, dan para budak.
Menurut Ali Syariati,
menjadikan Islam sebagai dasar ideologis berarti memahami Islam sebagai suatu
gerakan kemanusiaan, historis, dan intelektual. Inilah yang nantinya akan memberikan
ghirah progresif-praksisbagi penganutnya dan sekaligus mengarahkan pada tujuan,
cita-cita dan rencana praksis sebagai dasar bagi perubahan dan kemajuan kondisi
sosial yang diharapkan. Hal ini menunjukan bahwa dalam Islam jelas menunjukan
keberpihakannya kepada mereka yang termasuk tertindas, minoritas dan dhu’afa,
termasuk didalamnya para anak
jalanan
Dengan demikian, ada
pertanyaan yang menggelanyut yaitu bagaimana memulai dan mewujudkan semuanya
dalam tindakan nyata, terlebih dalam kondisi bangsa yang dilanda krisis
multidimensi yang seolah tidak berujuang. Mungkin kita akan berfikir, untuk
memenuhi kebutuhan pribadi saja sudah susah, apalagi membantu orang lain.
Bagaimana kita akan memberikan perhatian dan mengurus orang-orang yang
terlantar (anak jalanan), sementara mengurus dan mengelola diri sendiri saja
sudah bingung. Sebenarnya persoalannya tidak serumit itu. Persoalannya akan
menjadi lain manakala kesadaran cinta sesama kembali diasah dan diasuh, karena
potensi itu sudah melekat dalam diri kita masing-masing. Bukan hanya karena
faktor agama yang memerintahkan untuk peduli kepada sesama, tetapi adat
kebiasaan bahkan yang melekat pada sifat dasar manusia adalah makhluk sosial,
yang semestinya memiliki kepekaan terhadap nasib sesama manusia. Dalam Islam,
visi filantropi itu amat jelas dalam ajarannya, yaitu adanya kewajiban zakat, yang
salah satu dari mereka yang berhak menerimanya adalah IBN SABIL (terjemah
bebasnya bisa jadi anak jalanan). Disamping itu adanya ajaran tentang infaq,
hibah dan shadaqah, yang implementasinya bisa dalam bentuk bantuan sosial,
santunan yatim piatu dan kaum dhu’afa, pemberian modal usaha,
pendampingan dan lain sebagainya. Persoalannya terkadang hasil infaq, shadaq ah dan yang lainnya tersebut kurang
dikelola secara baik, apalagi managemen administrasi terkesan kurang akuntabel
dan transparan.
Selanjutnya, pertanyaan
lain yang belum terjawab adalah mengapa tradisi dan ajaran Islam yang begitu
elok, progresif dan empatif itu seakan dampaknya belum menunjukan hasil yang
menggembirakan? Ajaran filantropi dalam Islam sebenarnya diharapkan dapat
secara aktif mengimplematasi berbagai inisiatif untuk terciptanya keadilan
sosial, yang tentu saja menyaratkan adanya usaha yang serius dari berbagai
pihak untuk memberikan perhatian dan menerapkan kebijakan yang bisa berpihak
demi kesejahteraan masyarakat, terutama bagi kalangan marginal, minoritas,
terlantar dan tertindas, termasuk anak jalanan.
Ketika di Jogjakarta,
penulis mempunyai sahabat yang banyak terlibat dengan pengasuhan anak jalanan,
yang kemudian mendirikan Rumah Singgah Diponegoro. Rumah singgah merupakan tempat pemusatan sementara
yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh
informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih
lanjut. Secara
umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi
masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Dengan harapan mereka menerima bimbingan tentang norma
dan nilai hidup di masyarakat, menerima layanan kebutuhan, baik pendidikan,
materi maupun psikologis dalam bentuk perhatian dan perlindungan, asah, asih
dan asuh.
Oleh karena itu,
menguatkan visi filantropi merupakan persoalan yang krusial yang perlu
ditangani secara kolektif oleh berbagai pihak. Sebenarnya sikap filantropi itu
sudah berlangsung dalam kehidupan kita, misalnya pada saat terjadi musibah atau
bencana alam dan lain-lain. Adapun yang terkait dengan anak jalanan, tentu
harus diidentifikasi apa yang menjadi penyebab mereka menjadi anak jalanan.
Hasil survey yang dikemukakan di atas setidaknya memberikan informasi, bahwa
mereka yang menjadi anak jalanan tersebut memiliki latar belakang kehidupan
yang variatif dan motivasinya pun beragam. Penanganan terhadap mereka bukan
hanya didasarkan pada belas kasihan semata, tetapi harus dikaji secara
komprehensif akar masalah kenapa mereka memilih menjadi anak jalanan, sehingga
penyelesaian yang bersifat edukatif dan pendekatan psikologis perlu
dikedepankan, terutama menyiakan ketrampilan dan mental kemandiriannya untuk
masa depan mereka. Semoga bermanfaat.......
Wa Alllah A’lam bi as-Shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar