.

Sabtu, 22 Desember 2012

MENGUATKAN VISI FILANTROPI TERHADAP ANAK JALANAN



Pengantar


         Filantropi berasal dari bahasa philanthropia atau dalam bahasa Yunani philo dan anthropos yang berarti cinta manusia. Filantropi adalah bentuk kepedulian seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain berdasarkan kecintaan pada sesama manusia (Hilman, 2010 : 34). Tradisi kepedulian ini sebenarnya sudah lama berjalan ditiap dimensi kehidupan manusia, baik yang bersifat individu maupun institusional. Keberadaan kegiatan filontropi ini sudah berjalan dalam bentuk seperti kegiatan sosial, bakti sosial, santunan yatim piatu, pengobatan gratis, bantuan kemanusian bencana alam dan lain sebaginya. Terlepas dari mana istilah tersebut berasal, sebenarnya pelayanan terhadap kemanusian merupakan hal yang tak bisa ditolak, sebagai bentuk sikap kepedulian dan peka terhadap problem kemanusiaan. Dalam ajaran Islam pun juga ditegaskan begitu pentingnya kepedulian sosial, misalnya melalui kewajiban zakat, infaq dan shadaqah yang diperuntukan bagi kaum dhu’afa, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki kepedulian sosial dimasukan kategori orang yang mendustakan agama (baca : al-Qur’an surat al-Ma’un).
Berdasarkan hasil riset PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), setelah tahun 1998 kegiatan filantropi begitu luar biasa berkembang terutama pada saat muncul krisis politik dan diikuti krisis ekonomi, serta bencana terjadi di mana–mana. Hal ini mendorong masyarakat kita lebih peduli dan banyak menyalurkan sumbangan. Kondisi itulah yang memunculkan inisiatif dari beberapa kelompok masyarakat untuk mendirikan berbagai lembaga atau program penggalangan dana. Mulai tahun 1998 hingga sekarang muncul lembaga atau program tersebut, seperti dompet media yang berada di berbagai media. Diluar itu, muncul lembaga amil zakat, dompet duafa, rumah zakat, dan lain–lain. Kepasrahan dan ketidakberdayaan manusia atas kekalahannya dalam konstelasi kompetisi global mengakibatkan jurang kemiskinan semakin tampak terang benderang, semakin terlihat jelas strata sosial dalam kehidupan masyarakat, antara yang kaya dan miskin, dan akibat dari percaturan dunia global ini mengakibatkan munculnya problematika kemanusian ketika berhadapan dengan dinamika kehidupan masyarakat, yang salah satunya adalah munculnya fenomena anak jalanan.
Istilah anak jalanan belum tercantum dalam Undang-Undang Dasar kita, namun dalam Pasal 34 UUD45 disebutkan bahwa : “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dalam konteks ini penting untuk dicermati yaitu siapakah yang dimaksud dengan “anak terlantar”, apakah masuk didalamnya “anak jalanan”? Jika mereka yang termasuk anak jalanan itu mereka yang tidak mempunyai orang tua, atau tidak mendapatkan perhatian orang tua, tidak berada dalam perwalian, apalagi masa depan kehidupannya pun tidak jelas, kesejahteraannya pun memprihatikan, maka sebenarnya mereka itu termasuk anak terlantar yang seharusnya mendapatkan perhatian dari negara. Terlepas persoalan memasukan anak jalanan dalam kategori anak terlantar, faktanya mereka adalah bagian dari fenomena kehidupan saat ini, yang keberadaannya tentu perlu mendapat perhatian dan kepedulian kita semua, baik dari segi kesejahteraan, perkembangan psikologis, perhatian sampai dengan tingkat pendidikan mereka. Sikap yang demikian ini menunjukan adanya mentalitas filantropi ketika melihat fenomena kehidupan anak jalanan yang terkadang memprihatinkan, baik kebutuhan jasasmani, apalagi kebutuhan ruhani spiritulnya.
Sikap filantropi sebenarnya selalu ada sepanjang perjalanan hidup manusia, terutama dalam ajaran Islam, yang dapat menjadi kekuatan, sumber inspirasi dan dapat menjadi ilham, bahwa seorang muslim memiliki tanggung jawab terhadap muslim yang lain—termasuk dalam konteks kemanusiaan tanpa harus memandang suku, budaya dan agamanya. Dan kegiatan filantropi modern di indonesia sebenarnya sudah diawali oleh beberapa organisasi keagamaan, misalnya NU, Muhammadiyah, Hidayatullah dan lainnya, serta beberapa LSM yang mempunyai empati dan mental altruisme terhadap kondisi masyarakat yang diakibatkan adanya ketimpangan sosial. Disinilah pentingnya untuk meneguhkan kembali visi filantropi terutama dalam ajaran Islam yang mampu menjadi daya dorong munculnya kesadaran untuk melakukan pendampingan, perhatian dan empati terhadap masa depan mereka. Anak jalanan, juga merupakan bagian dari anak bangsa yang perlu mendapatkan perhatian bagi semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat luas yang memiliki kepekaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaannya.


Anak Jalanan
Setiap manusia yang hidup di dunia ini tentu mempunyai harapan yang besar untuk menjadi seorang yang mampu meraih kebahagian, yang ditandai dengan tingkat kesejahteraan dan kedamaian dalam menjalani kehidupannya. Kebahagiaan hidup tentu saja amat relatif tergantung pada cara pandang dan suasana hati dalam memaknai arti penting kebahagian bagi dirinya, sehingga parameternya pun antara yang satu dengan lainnya tentunta berbeda, atau dengan kata lain tidak bisa diukur secara materi, dan tergantung pada kondisi batiniyah dan kemampuan akalnya.
Begitu juga hidup untuk menjadi anak jalanan sebenarnya bukanlah sebagai pilihan hidup yang menyenangkan, melainkan  keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu, yang kemungkinan akibat dari adanya ketimpangan sosial-ekonomi, kehidupan rumah tangga harmonis, dan yang lainnya. Terlepas dari penyebab keberadaanya, anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Pada dataran psikologis, mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai kondisi mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang menantang, keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Kondisi psikologis ini tentu saja bisa berakibat pada dataran kehidupan sosial. Kondisi emosi dan mentalitas yang masih labil, apalagi dibarengi dengan penampilan yang terlihat kumuh, jorok dan bebas, tentu saja akan melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan. Citra negatif tersebut kemudian melahirkan identifikasi terhadap anak jalanan itu digambarkan anak yang suka membuat  onar, anak-anak kumuh, broker, suka mencuri, mabuk-mabukan, dan dicap sebagai sampah masyarakat yang harus diasingkan. Stigmasi masyarakat yang demikian ini, kemungkinan justru akan menjadi pemicu munculnya perasaan teralienasi dari kehudupan sosialnya, dan pada gilirannya akan melahirkan kepribadian introvet, cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial.
Anak jalanan dilihat dari sebab dan intensitas mereka berada di jalanan memang tidak dapat disamaratakan. Dilihat dari sebab, sangat dimungkinkan tidak semua anak jalanan berada dijalan karena tekanan ekonomi, boleh jadi karena pergaulan, pelarian, tekanan orang tua, atau atas dasar pilihannya sendiri.
Keberadaan anak jalanan merupakan fenomena yang hampir muncul di kota-kota seluruh Indonesia. Kepekaan dan kepedulian sosial kepada mereka seharusnya dipertajam dengan memperhatikan dan memberikan pendampingan terhadap pendidikan, moralitas dan kesejahteraan hidupnya, yang pada gilirannya mempunyai profesi dan kemandirian yang mampu menopang kehdupannya menjadi lebih baik untuk menghilangkan stigmasi masyarakat sebagai kelompok yang hanya bikin onar dan sampah masyarakat. Bagaimanapun mereka adalah entitas anak bangsa yang merupakan karunia Ilahi dan amanah yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945, UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan Convention on the right of the child ( Konvensi tentang Hak-hak Anak).
UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu : Street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life (anak jalanan merupakan anak-anak berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya (H.A Soedijar, 1988 : 16).
Menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia ( 1999 ; 22-24 ) anak jalanan dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu : 1). Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya ( children of the street ). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh factor social psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka. 2). Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan ( children on the street). Mereka seringkali diindentikan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingg sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya. 3). Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran. 4). Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa ( orang tua ataupun saudaranya ) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan ( kuli panggul ), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.
Sementara itu menurut Menteri Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia mendefinisikan anak jalanan sebagai berikut: 1). Anak jalanan adalah anak-anak yang hidup di jalanan, putus sekolah, dan tidak lagi memiliki hubungan dengan keluarganya. 2). Anak jalanan adalah anak-anak yang hidup di jalanan, putus sekolah, dan tetapi masih memiliki hubungan dengan keluarganya, meskipun hubungan tersebut tidak berlangsung dengan teratur. 3). Anak jalanan adalah anak-anak yang bersekolah dan anak putus sekolah yang meluangkan waktunya di jalanan tetapi mesih memiliki hubungan yang teratur dengan keluarganya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang meluangkan mayoritas waktunya di jalanan, baik untuk bekerja maupun tidak, baik yang masih sekolah maupun tidak sekolah, dan masih memiliki hubungan dengan keluarganya maupun tidak lagi memiliki hubungan dengan keluarganya.
Survey yang dilakukan oleh Menteri Kesejahteraan Sosial dan Pusat Penelitian Universitas Atmajaya pada tahun 1999 dalam kaitannya dengan pemetaan terhadap anak jalanan di mana hasilnya mengungkapkan bahwa mayoritas anak jalanan (60%) telah menjalani kehidupannya sebagai anak jalanan selama lebih dari 2,5 tahun, 17,4% di antaranya telah hidup di jalanan kurang dari 2 tahun, 6,8% bahkan telah menjalani kehidupan di jalanan selama 6-9 tahun, dan 6,8% lainnya bahkan telah hidup di jalanan selama lebih dari 10 tahun. Berdasarkan pengamatan NGO dan pekerja sosial, menunjukkan bahwa semakin lama seorang anak hidup di jalanan maka semakin sulit untuk mengentasnya dari jalanan. Jika seorang anak telah menjalani kehidupannya di jalanan lebih dari 2 tahun maka biasanya anak-anak tersebut telah menjadi terbiasa atau telah beradaptasi dengan kehidupan di jalanan. Anak-anak tersebut telah melakukan perubahan pada sikap dan perilaku sebagai upayanya untuk menghadapi kekerasan di jalanan, eksploitasi, dan mengatasi bahaya. Di samping situasi buruk yang telah akrab dengan kehidupan anak jalanan tersebut, biasanya anak-anak tersebut telah menikmati kehidupannya di jalanan. Pada umumnya anak-anak tersebut merasa senang menikmati kebebasan yang dirasakan dalam kehidupan jalanan, mudah mendapatkan uang, menggunakan uang tersebut untuk kepentingan sendiri dengan sesukanya, dan menikmati kehidupan kesehariannya dengan apa yang disukainya sepanjang hari.
Berdasarkan hasil survey juga menunjukkan bahwa beberapa aktivitas utama yang dijalani oleh anak-anak jalanan tersebut antara lain adalah sebagai pengamen (52,8%), pedagang asongan (19,3%), pemulung (8,7%), buruh angkut (3,1%), penyemir sepatu (3,1%), pengemis (2,5%), pengawas parkir (1,9%), broker (1,2%), menyewakan payung (1,2%), pencuci mobil (0,6%), and “joki” (biasanya berada di kawasan three-in-one pada jam-jam tertentu untuk mengurangi kemajetan lalu lintas) sebanyak 0,6%.
Hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa kehidupan anak jalanan itu menjalani hidupnya sangat beragam. Sebagian diantara mereka harus mempertahankan hidupnya dengan cara yang kurang bisa diterima masyarakat. Tantangan hidup para anak jalanan pada umumnya memang berbeda dengan  kehidupan normal yang ada di masyarakat. Mereka terkadang hidup dan berkembang di bawah tekanan stigma masyarakat sebagai kelompok pengganggu ketertiban, onar, bebas dan tidak mau diatur. Perilaku anak jalanan tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari stigma sosial dan keterasingannya dalam masyarakat. Tidak ada yang berpihak kepada anak-anak tersebut dan bahkan, sebenarnya perilaku anak-anak tersebut mencerminkan perilaku masyarakat dalam memperlakukannya, serta ‘harapan’ masyarakat terhadap perilakunya (Suyanto dan Sri Sanituti, 2001).
Perilaku mereka yang berbeda dengan kehidupan normal kebanyakan masyarakat, terkadang mendapat perlakuan dan tindakan yang kasar terutama dari aparat pemerintah, misalnya Satpol PP dan Kepolisian. Perlakuan terhadap anak jalanan yang represif yang menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan dunia kriminal dengan cara merazianya, kemungkinan pada satu sisi dianggap sebagai langkah yang tepat. Namun, sebenarnya pada sisi lain, jika tindakan tersebut dilakukan dengan hati nurani dan sikap empati, maka bisa jadi perlakuan represif tersebut bukan merupakan perlakuan dan solusi yang tepat. Akan tetapi, memperlakukan mereka dengan memberikan belas kasih yang berlebihan sebenarnya juga bukan merupkan solusi jitu, karena anak-anak tersebut bukan anak-anak yang perlu dibelaskasihani, tetapi yang diperlukan adalah kebutuhan sebagaimana kebutuhan anak-anak pada umumnya, yaitu perlindungan, kasih sayang, dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, pendekatan yang bersifat edukatif perlu dikedepankan dalam rangka menyiapkan mental dan kemandirian mereka, serta pengakuan, penerimaan, dan dukungan bagi kesetiaannya dalam menjalani kehidupan.

Filantropi sebagai kunci
Hal yang tidak boleh kita lupakan bahwa ajaran Islam menganjurkan untuk menumbuhkan rasa cinta berupa sikap saling tolong-menolong dan larangan berbuat aniaya, serta memaksimalkan karunia yang diberikan Allah, juga ajakan untuk menghilangkan sikap kebencian (baca : Surat al-Maidah : 2). Hal yang perlu diingat, manusia akan diabadikan  dalam kenangan manakala apa yang diperbuatnya mampu memberikan kemshlahatan dan manfaan bagi dirinya dan masyarakat luas. Seperti halnya, gajah mati meninggalkan gading, seekor meninggalkan cul dan bunga yang mewariskan keharumannnya.
Sikap filantropi merupakan kunci untuk mengembangkan budaya saling memberi, mencintai dan mengasihi terhadap sesama umat manusia. Apabila hal tersebut dapat terealisasi secara simultan dan terorganisir, maka problem yang terkait dengan kemanusian dapat teratasi. Tentu saja sikap yang demikian ini harus dimaknai lebih luas, yang tidak hanya terbatas pada persoalan sosial keagamaan, baik yang berkaitan dengan sikap bermuarah hati, ramah, kasih sayang maupun sikap yang empati, peduli dan peka terhadap sesama. Sikap filantropi hakekatnya berangkat dari cinta, bergerak ke arah cinta, memiliki visi dan misi cinta dan menghasilkan rasa cinta kasih pada sesama.
Pada dataran das sein, banyak problem kemanusian yang seharusnya mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat luas terkait dengan pengangguran, kemiskinan, kelaparan, kerusuhan, rendahnya solidarias sosial, tercabik-cabiknya nilai-nilai kerukunan dan kebersamaan, dan berbagai problem kemanusian lainnya, termasuk bermunculannya anak jalanan, yang tentunya begitu memilukan ditengah-tengah kehidupan berbangsa yang konon kaya akan nilai-nilai luhur peninggalan nenek moyang, sarat dengan norma agama, serta kekayaan alam yang melimpah, seolah-olah persoalan tersebut sudah tidak menarik lagi untuk diperbincangkan, terlebih untuk dicarikan solusi pemecahannya. Pada hal sikap dasar manusia adalah cenderung bermurah hati, cinta kasih dan harmonis dalam menjalani kehidupannya, yang pada kenyataannya telah berpindah pada pola kehidupan individualis, materialis dan hedonis, yang tidak mengindahkan lagi sikap empati dan peka terhadap keberlangsungan kehidupan sesama manusia. Sedangkan pada dataran das solen, sikap filantropi terkadang belum mampu menyelesaaikan akar permasalahan, karena lebih didasarkan pada kepentingan sesaat, kebijakan yang hanya untuk memuaskan pihak tertentu dan atas nama kekuasaan. Disinilah pentingnya kita meneguhkan kembali visi filantropi yang terkandung dalam ajaran Islam yang lebih transformatif, progresif, implementatif dan membumi yang bisa menyelesaikan problematika kehidupan.
Ziaul Haque dalam bukunya Revelation and Revolution in Islam menjelasan tiga raison d’etre peran nabi diutus kepada umat manusia ; pertama, untuk menyatakan kebenaran ; kedua, untuk melawan kepalsuan (kebatilan) dan penindasan (kedhaliman) ; dan ketiga, untuk membangun komunitas yang hidup atas dasar kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan dan kasih sayang. Ketiga alasan tersebut pada dasarnya secara eksplitit-eksoteris tertuang dalam al-Qur’an. Dengan ini dapat dipahami, bahwa para nabi adalah sosok revolusioner yang dimunculkan Allah untuk menciptakan sejarah manusia, dengan mengemban misi sosial religius dengan berusaha mentransformasi sosial yang memebebaskan dan membela bagi mereka yang disubordinasi dan dihegemoni oleh sebuah struktur kekuasaan, termasuk didalamnya struktur sosial yang hegemonik dan diskriminatif.
Revolusi yang digerakkan oleh para nabi bertujuan untuk melawan diskriminasi, dominasi, subordinasi dan manipulasi kesadaran. Meraka menjadi inspirator, pejuang dan penggerak dalam memerangi kelompok-kelompok tiranik dan dzalim, misalnya nabi Musa yang berusaha melawan kekuasaan Fir’aun yang arogandan tiranik. Nabi Musa dalam hal merupakan representasi kekuatan pembela hak-hak rakyat, buruh, perempuan, perempuan, dan kelompok minoritas (baca: anak jalanan). Begitu juga nabi Muhammad Saw, mengemban misi ajaran Islam dengan membela, menyelamatkan, membebaskan, memuliakan dan melindungi orang-orang yang tertindas. Kehadiran nabi Muhammad di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyah, yang tidak mengindahkan norma kemanusian, mendapatkan apresiasi positif karena kehadirannya menjadi sosok yang menunjukan pembelaan terhadap mereka yang tertindas, kaum dhu’afa, dan para budak.
Menurut Ali Syariati, menjadikan Islam sebagai dasar ideologis berarti memahami Islam sebagai suatu gerakan kemanusiaan, historis, dan intelektual. Inilah yang nantinya akan memberikan ghirah progresif-praksisbagi penganutnya dan sekaligus mengarahkan pada tujuan, cita-cita dan rencana praksis sebagai dasar bagi perubahan dan kemajuan kondisi sosial yang diharapkan. Hal ini menunjukan bahwa dalam Islam jelas menunjukan keberpihakannya kepada mereka yang termasuk tertindas, minoritas dan dhu’afa,  termasuk didalamnya para anak jalanan
Dengan demikian, ada pertanyaan yang menggelanyut yaitu bagaimana memulai dan mewujudkan semuanya dalam tindakan nyata, terlebih dalam kondisi bangsa yang dilanda krisis multidimensi yang seolah tidak berujuang. Mungkin kita akan berfikir, untuk memenuhi kebutuhan pribadi saja sudah susah, apalagi membantu orang lain. Bagaimana kita akan memberikan perhatian dan mengurus orang-orang yang terlantar (anak jalanan), sementara mengurus dan mengelola diri sendiri saja sudah bingung. Sebenarnya persoalannya tidak serumit itu. Persoalannya akan menjadi lain manakala kesadaran cinta sesama kembali diasah dan diasuh, karena potensi itu sudah melekat dalam diri kita masing-masing. Bukan hanya karena faktor agama yang memerintahkan untuk peduli kepada sesama, tetapi adat kebiasaan bahkan yang melekat pada sifat dasar manusia adalah makhluk sosial, yang semestinya memiliki kepekaan terhadap nasib sesama manusia. Dalam Islam, visi filantropi itu amat jelas dalam ajarannya, yaitu adanya kewajiban zakat, yang salah satu dari mereka yang berhak menerimanya adalah IBN SABIL (terjemah bebasnya bisa jadi anak jalanan). Disamping itu adanya ajaran tentang infaq, hibah dan shadaqah, yang implementasinya bisa dalam bentuk bantuan sosial, santunan yatim piatu dan kaum dhu’afa, pemberian modal usaha, pendampingan dan lain sebagainya. Persoalannya terkadang hasil infaq, shadaq       ah dan yang lainnya tersebut kurang dikelola secara baik, apalagi managemen administrasi terkesan kurang akuntabel dan transparan.  
Selanjutnya, pertanyaan lain yang belum terjawab adalah mengapa tradisi dan ajaran Islam yang begitu elok, progresif dan empatif itu seakan dampaknya belum menunjukan hasil yang menggembirakan? Ajaran filantropi dalam Islam sebenarnya diharapkan dapat secara aktif mengimplematasi berbagai inisiatif untuk terciptanya keadilan sosial, yang tentu saja menyaratkan adanya usaha yang serius dari berbagai pihak untuk memberikan perhatian dan menerapkan kebijakan yang bisa berpihak demi kesejahteraan masyarakat, terutama bagi kalangan marginal, minoritas, terlantar dan tertindas, termasuk anak jalanan.
Ketika di Jogjakarta, penulis mempunyai sahabat yang banyak terlibat dengan pengasuhan anak jalanan, yang kemudian mendirikan Rumah Singgah Diponegoro. Rumah singgah merupakan tempat pemusatan sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut. Secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan harapan mereka menerima bimbingan tentang norma dan nilai hidup di masyarakat, menerima layanan kebutuhan, baik pendidikan, materi maupun psikologis dalam bentuk perhatian dan perlindungan, asah, asih dan asuh.
Oleh karena itu, menguatkan visi filantropi merupakan persoalan yang krusial yang perlu ditangani secara kolektif oleh berbagai pihak. Sebenarnya sikap filantropi itu sudah berlangsung dalam kehidupan kita, misalnya pada saat terjadi musibah atau bencana alam dan lain-lain. Adapun yang terkait dengan anak jalanan, tentu harus diidentifikasi apa yang menjadi penyebab mereka menjadi anak jalanan. Hasil survey yang dikemukakan di atas setidaknya memberikan informasi, bahwa mereka yang menjadi anak jalanan tersebut memiliki latar belakang kehidupan yang variatif dan motivasinya pun beragam. Penanganan terhadap mereka bukan hanya didasarkan pada belas kasihan semata, tetapi harus dikaji secara komprehensif akar masalah kenapa mereka memilih menjadi anak jalanan, sehingga penyelesaian yang bersifat edukatif dan pendekatan psikologis perlu dikedepankan, terutama menyiakan ketrampilan dan mental kemandiriannya untuk masa depan mereka. Semoga bermanfaat.......
Wa Alllah A’lam bi as-Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar