A. Pendahuluan
Syariat Islam dari mabda’nya berfungsi memelihara 5
(lima) jenis perkara, yakni, jiwa, keturunan, harta benda, akal dan agama. Di
atas mabda-mabda itu, ulama sangat giat melakukan pengkajian dengan berbagai
cara atau metode; antara lain, tatacara seperti adanya klasifikasi Maqaashid
al Syari’ah ( tujuan syara’) menjadi 3 (tiga) peringkat, yakni, dharuriyah,
haajiah dan tahsiniyah. Ketiganya dalam tasyri, memiliki peran di atas semua
obyek hukum menurut prinsip fundamental dalam syariat, baik karena ada petunjuk
dari nas Alquran dan Sunah, maupun menurut ijtihad para ulama.
Perspektif hukum Islam lazim dibangun dengan berbagai
metode. Tentu di dalamnya tidak hanya mengatur hubungan bersifat horisontal,
juga ada garis bersifat vertikal. Dalam terminologi fikih, terutama menurut
mazhab Suni kecuali mazhab Zahiri, ketentuan yang mengatur hubungan horisontal
disebut fikih muamalah, ketentuan yang mengatur hubungan vertikal disebut fikih
ibadah.
Islam adalah ajaran Allah SWT terstruktur sebagai agama
terakhir, substansi ajarannya mencakup segala aktifitas manusia di atas
permukaan bumi. Dan karenanya manusia diserukan untuk beramal menurut ketentuan
ridha Allah SWT. Dalam formalitas kehidupan lahiriyah, Islam tidak hanya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan Penciptanya, juga hubungan manusia
dengan sesamanya, plus dengan lingkungan sekitarnya. Dalam pada itu, Islam
setelah hadir dalam sejarah, secara kultural dapat ditinjau dari berbagai
aspek, antara lain aspek hukum.
Khuderi Bek, dalam Tarikh Tasyri’ al-islam membagi
sejarah pembentukan hukum Islam kepada enam periode yaitu:
1.
Pembentukan hukum Islam pada masa hidupnya Nabi Muhammad Saw.
2.
Pembentukan hukum Islam pada masa sahabat besar. Masa ini berakhir dengan
berakhi rnya khulafaur rasyidin.
3.
Pembentukan hukum islam masa sahabat dan tabiin yang sejajar dengan mereka
kebaikannya. Masa ini berakhir dengan berakhirnya abad pertama Hijriyah atau
sedikit sesudah itu.
4.
Pembentukan hukum masa fikih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan. Periode ini
berakhir dengan berakhirnya abad ketiga hijriyah.
5.
Pembentukan hukum pada masa yang di dalamnya telah dimasukkannya
masalah-masalah yang berasal dari para Imam, dan munculnya karangan-karangan
besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya Daulat Abbasiyah di Baghdad.
6.
Pembentukan hukum pada masa taklid semata-mata. Masanya sesudah periode kelima
sampai sekarang.
Berdasarkan periode-periode tersebut di atas, maka dapat
dipahami bahwasanya periode awal pembentukan dan perkembangan hukum Islam dapat
dilihat pada keberadaan tasyri’ pada masa Rasulullah saw
dan masa sahabat besar (Khulafaur Rasyidin). Sehingga pembahasan makalah ini
hanya akan membahas pemikiran hukum Islam pada ke dua masa tersebut.
B. Tasyri’ pada Masa Rasulullah
Islam datang kepada umat manusia oleh seorang Rasul yang
diutus untuk memperbaiki kondisi bangsa Arab yang pada masa itu menyembah
berhala, system masyarakat yang kacau balau. Pada awalnya Rasulullah sangat
hati-hati dalam dakwahnya, beliau mengalami cukup banyak hambatan dan halangan
yang dilakukan oleh suku quraisy pada saat itu.
Menurut Ahmad Syalabi, ada lima factor yang menyebabkan
orang Quraisy termotivasi untuk menentang seruan Islam tersebut:
1.
Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
2.
Nabi Muhammad saw. mendakwahkan persamaan hak antara bangsawan dan hamba
sahaya.
3.
Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali
dan pembalasan di akhirat.
4.
Taklid kepada nenek moyang yang sudah mengakar pada bangsa Arab.
5.
Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezki.
Inilah yang mengakibatkan dalam penerapan
peraturan-peraturan maupun syariat Islam diperlukan adanya proses yang bertahap.
Tahap awal dari orientasi Islam adalah memenuhi aqidah
yang merupakan landasan utama yang menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan
masyarakatnya. Di samping itu, penghapusan sedikit demi sedikit moral bejat
mereka, menghapus kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah mendarah daging di
kalangan mereka. Ini merupakan awal pembentukan hukum Islam yang menggunakan
alquran sebagai sumber atau dasarnya.
Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode
risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode
ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Alquran
diturunkan menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia. Ayat demi ayat yang
diterima oleh Rasulullah saw. diterangkan dan dijabarkan lebih jauh oleh beliau
yang kemudian diamalkan oleh kaum Muslimin. Pada masa kenabian, terdapat dua
periode pembinaan hukum Islam, yaitu periode Makkah dan periode Madinah.
Periode Makkah dikenal dengan periode penanaman aqidah dan akhlak. Aqidah
berbicara tentang kepercayaan kepada Allah swt., kepada Malaikat, Kepada Rasul,
kepada hari akhir dan kepada qada dan qadar. Sementara itu akhlak
berbicara tentang larangan membunuh, larangan mengurangi timbangan dan menjauhi
perbuatan tercela, dll. Kedua hal inilah yang diutamakan Nabi saw. dalam
dakwahnya.
Hijrahnya Nabi saw. ke Madinah merupakan periode yang
kedua dalam pembinaan hukum Islam. Periode Madinah dikenal sebagai periode
penaatan dan pemapanan masyarakat. Oleh karena itu di periode Madinah inilah
ayat-ayat yang memuat hukum-hukum mulai diturunkan baik yang bersifat ritual
maupun social. Adapun factor yang menyebabkan proyek hukum banyak dibicarakan
dalam periode Madinah yaitu karena dalam periode ini orang Islam sudah memiliki
dasar akhlak dan aqidah yang kuat sebagai landasan terhadap aspek-aspek
lainnya.
Beberapa contoh metode yang diterapkan pada masa
pertumbuhan dan pembinaan hukum Islam pada periode Rasulullah saw. antara lain
adalah:
1.
Perubahan yang ditetapkan dilakukan secara revolusi ataupun bertahap (tadwin)
terhadap adat istiadat yang telah mengakar dalam masyarakat. Salah satu
contohnya adalah tentang permasalahan minuman khamar dan judi.
Pada tahap pertama menjelaskan tentang kerugian yang lebih besar daripada
keuntungannya. Pada tahap berikutnya tidak boleh mendekati shalat ketika dalam
keadaan mabuk dan pada akhirnya dinyatakan sebagai perbuatan syaitan dan mesti
dijauhi. Kemudian penjelasan hukum yang diberikan oleh Rasulullah saw. lebih
banyak dalam bentuk pertanyaan yang diajukan dan memerlukan jawaban.
2.
Bersifat tegas (evolusioner) dalam bidang-bidang tertentu terutama dalam ibadah
maupun aqidah.
3.
Metode yang diterapkan dalam penetapan hukum tidak berpandangan picik
(berwawasan luas).
4. Penyederhanaan aturan-aturan atau untuk
keringanan manusia. Metode yang diterapkan Rasulullah
saw. ini bersandarkan tuntunan Allah swt dalam menerapkan ataupun membina hukum
Islam.
Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah
kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW adalah
Alquran dan wahyu kerasulan.
Sumber/kekuasaan tasyri’ (pembuatan undang-undang)
pada periode ini hanya dipegang oleh Rasulullah dan tak seorang pun dari umat
Islam, selain beliau dibolehkan menentukan hukum yang berkenaan dengan suatu
peristiwa, baik untuk dirinya sendiri, ,ataupun untuk orang lain. Hal ini
karena dengan adanya Rasulullah SAW. Di tengah-tengah mereka, yang memudahkan
mereka mengembalikan setiap masalah kepada beliau, maka tak seorangpun dari
mereka berani berfatwa dari hasil ijtihadnya sendiri dalam suatu peristiwa atau
menjatuhkan vonis terhadap suatu persengketaan yang terjadi.
Bahkan, kalau mereka (para sahabat) menghadapi suatu peristiwa, terjadi
persengketaan, suatu pertanyaan, atau permintaan fatwa, mereka langsung
mengembalikan persoalan-persoalan itu pada Rasulullah saw.
Namun demikian sebagian sahabat pernah melakukan ijtihad
dan memutuskan sebagian persengketaan dan mengambil suatu hukum. Rasulullah SAW
mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah,
Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal
tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ
تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ
فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ.
Sesungguhnya
Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata
padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz
pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu
Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab:
“Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama
tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan
pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan
Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan
Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.
Hal tersebut di atas dan semacamnya tidak berarti
menunjukkan bahwa seorang selain Nabi mempunyai wewenang untuk membuat
ketentuan hukum, sebab hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, yang tidak
memungkinkan untuk menyerahkan permasalahannya kepada Rasulullah saw. Di
samping itu, keputusan sahabat itu merupakan penerapan hukum, bukan merupakan
suatu tasyri’. Olehnya itu setiap ijtihad sahabat belum merupakan
ketetapan yang berlaku bagi umat Islam kecuali bila ada ketetapan dari
Rasulullah saw. ijtihad yang dating selain dari beliau baru bisa menjadi tasyri’
kalau sudah ada pengakuan dari beliau.
Jika disimak hukum
Islam seirama dengan dimensinya dalam sejarah, maka isi pengkajian dalam setiap
dimensinya mutlak menampakkan berbagai sistem atau metode. Oleh sebab itu, pada
zaman Rasulullah saw., hukum Islam secara bersahaja dapat diperoleh berdasarkan
wahyu Allah swt dan ijtihad Rasulullah saw, yaitu hukum Islam dalam perspektif
Alquran dan Sunah. Masing-masing diyakini oleh umat Islam adalah syari’at
Islam, semua tergambar sebagai dalil naqli atau nash-nash.
Pengaturan tentang peraturan hukum yang terdapat dalam
al-Qur’an lebih banyak diungkapkan secara garis besar, sehingga memerlukan
penjelasan Nabi. Oleh karena itu, terasa perlu untuk tetap mengkaji sunnah,
karena Nabi sebagai mubayyin terhadap al-Qur’an. Sebagian aturan
al-Qur’an yang bersifat umum atau yang berbentuk gari-garis besar telah
diperjelas secara harfiah oleh Nabi. Akan tetapi kemudian akan muncul
permasalahan, karena masih banyaknya juga penjelasan Nabi yang juga memerlukan
penalaran.
Pemikiran hukum Islam di masa Nabi belum menampakkan
corak pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, karena posisi Nabi
selain sebagai bayan (pemberi penjelasan) juga sebagai penetap hukum
atau masalah yang muncul. Sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkan kurang
bahkan tidak reaksi dalam masyarakat. Pada zaman Nabi, hukum-hukum atau
penetapan-penettapan hukum itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu. Hukum
Islam pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan-ucapan Nabi
yang nampak pada tindakan-tindakan Nabi. Beliaulah dan hanya dari beliau
sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah dengan para
sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.