.

Minggu, 30 Desember 2012

TASYRI’ MASA RASULULLAH SAW.


A. Pendahuluan
Sebelum agama Islam datang, keadaan bangsa Arab ketika itu sangatah jahil. Sampai-sampai mereka disebut kaum jahiliyyah atau kaum bodoh. Jahil di sini bukan dalam segi intelektual tapi dari segi akhlaq. Karena memang tingkah laku mereka yang amoral, seperti anak perempuan di kubur hidup-hidup karena mereka menganggap perempuan merupakan sesuatu hal yang naïf ataupun hina. Kemudian mereka membuat berhala sendiri yang akhirnya berhala tersebut mereka anggap Tuhan bagi mereka. Selain itu, belum adanya perundang-undangan yang mengatur kehidupan mereka. Keadaan mereka hampir sama dengan keadaan masyarakat Yunani sekitar abad ke V SM, yang pada awalnya masih belum mengenal filsafat, mereka hanya mempercayai hal-hal yang berbau mitos saja.
Memang sebelum agama Islam telah ada agama-agama lain yang mengajarkan bagaimana cara hidup yang baik tapi masih belum sempurna. Seperti kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Daud as., yaitu Kitab Zabur yang isinya hanya berupa nasehat-nasehat saja. Kemudian Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as., yang isinya sudah ada tentang syariat. Dan yang ketiga kitab Allah berupa Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as., yang isinya hampir sama dengan kitab suci Taurat akan tetapi kitab injil ini sudah dimodifikasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mereka sebut dengan perjanjian baru. Baru pada malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW turunlah wahyu terakhir yaitu Al-Qur’an yang mana Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab Allah sebelumnya, yang sebagian isinya ada tentang yuridis yang dapat membimbing umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini dengan kekhasanaan.

B. Tasyri’ Pada Periode Makkah
Tasyri’ pada periode ini bertujuan kepada penyebaran ketauhidan, karena memang keadaan masyarakat yang masih jahiliyyah, masih menyembah patung yang mereka buat sendiri. Selain itu umat Islam ketika itu memang jumlahnya hanya segelintir orang.

PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM MASA RASULULLAH

A. Pendahuluan
Syariat Islam dari mabda’nya berfungsi memelihara 5 (lima) jenis perkara, yakni, jiwa, keturunan, harta benda, akal dan agama. Di atas mabda-mabda itu, ulama sangat giat melakukan pengkajian dengan berbagai cara atau metode; antara lain, tatacara seperti adanya klasifikasi Maqaashid al Syari’ah ( tujuan syara’) menjadi 3 (tiga) peringkat, yakni, dharuriyah, haajiah dan tahsiniyah. Ketiganya dalam tasyri, memiliki peran di atas semua obyek hukum menurut prinsip fundamental dalam syariat, baik karena ada petunjuk dari nas Alquran dan Sunah, maupun menurut ijtihad para ulama.
Perspektif hukum Islam lazim dibangun dengan berbagai metode. Tentu di dalamnya tidak hanya mengatur hubungan bersifat horisontal, juga ada garis bersifat vertikal. Dalam terminologi fikih, terutama menurut mazhab Suni kecuali mazhab Zahiri, ketentuan yang mengatur hubungan horisontal disebut fikih muamalah, ketentuan yang mengatur hubungan vertikal disebut fikih ibadah.
Islam adalah ajaran Allah SWT terstruktur sebagai agama terakhir, substansi ajarannya mencakup segala aktifitas manusia di atas permukaan bumi. Dan karenanya manusia diserukan untuk beramal menurut ketentuan ridha Allah SWT. Dalam formalitas kehidupan lahiriyah, Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan Penciptanya, juga hubungan manusia dengan sesamanya, plus dengan lingkungan sekitarnya. Dalam pada itu, Islam setelah hadir dalam sejarah, secara kultural dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain aspek hukum.
Khuderi Bek, dalam Tarikh Tasyri’ al-islam membagi sejarah pembentukan hukum Islam kepada enam periode yaitu:
1. Pembentukan hukum Islam pada masa hidupnya Nabi Muhammad Saw.
2. Pembentukan hukum Islam pada masa sahabat besar. Masa ini berakhir dengan berakhi rnya khulafaur rasyidin.
3. Pembentukan hukum islam masa sahabat dan tabiin yang sejajar dengan mereka kebaikannya. Masa ini berakhir dengan berakhirnya abad pertama Hijriyah atau sedikit sesudah itu.
4. Pembentukan hukum masa fikih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan. Periode ini berakhir dengan berakhirnya abad ketiga hijriyah.
5. Pembentukan hukum pada masa yang di dalamnya telah dimasukkannya masalah-masalah yang berasal dari para Imam, dan munculnya karangan-karangan besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya Daulat Abbasiyah di Baghdad.
6. Pembentukan hukum pada masa taklid semata-mata. Masanya sesudah periode kelima sampai sekarang.
Berdasarkan periode-periode tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwasanya periode awal pembentukan dan perkembangan hukum Islam dapat dilihat pada keberadaan tasyri’ pada masa Rasulullah saw dan masa sahabat besar (Khulafaur Rasyidin). Sehingga pembahasan makalah ini hanya akan membahas pemikiran hukum Islam pada ke dua masa tersebut.

B. Tasyri’ pada Masa Rasulullah
Islam datang kepada umat manusia oleh seorang Rasul yang diutus untuk memperbaiki kondisi bangsa Arab yang pada masa itu menyembah berhala, system masyarakat yang kacau balau. Pada awalnya Rasulullah sangat hati-hati dalam dakwahnya, beliau mengalami cukup banyak hambatan dan halangan yang dilakukan oleh suku quraisy pada saat itu. 
Menurut Ahmad Syalabi, ada lima factor yang menyebabkan orang Quraisy termotivasi untuk menentang seruan Islam tersebut:
1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
2. Nabi Muhammad saw. mendakwahkan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
3. Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
4. Taklid kepada nenek moyang yang sudah mengakar pada bangsa Arab.
5. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezki.
Inilah yang mengakibatkan dalam penerapan peraturan-peraturan maupun syariat Islam diperlukan adanya proses yang bertahap.
Tahap awal dari orientasi Islam adalah memenuhi aqidah yang merupakan landasan utama yang menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakatnya. Di samping itu, penghapusan sedikit demi sedikit moral bejat mereka, menghapus kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah mendarah daging di kalangan mereka. Ini merupakan awal pembentukan hukum Islam yang menggunakan alquran sebagai sumber atau dasarnya.
Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Alquran diturunkan menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia. Ayat demi ayat yang diterima oleh Rasulullah saw. diterangkan dan dijabarkan lebih jauh oleh beliau yang kemudian diamalkan oleh kaum Muslimin. Pada masa kenabian, terdapat dua periode pembinaan hukum Islam, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah dikenal dengan periode penanaman aqidah dan akhlak. Aqidah berbicara tentang kepercayaan kepada Allah swt., kepada Malaikat, Kepada Rasul, kepada hari akhir dan kepada qada dan qadar. Sementara itu akhlak berbicara tentang larangan membunuh, larangan mengurangi timbangan dan menjauhi perbuatan tercela, dll. Kedua hal inilah yang diutamakan Nabi saw. dalam dakwahnya.
Hijrahnya Nabi saw. ke Madinah merupakan periode yang kedua dalam pembinaan hukum Islam. Periode Madinah dikenal sebagai periode penaatan dan pemapanan masyarakat. Oleh karena itu di periode Madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum mulai diturunkan baik yang bersifat ritual maupun social. Adapun factor yang menyebabkan proyek hukum banyak dibicarakan dalam periode Madinah yaitu karena dalam periode ini orang Islam sudah memiliki dasar akhlak dan aqidah yang kuat sebagai landasan terhadap aspek-aspek lainnya.
Beberapa contoh metode yang diterapkan pada masa pertumbuhan dan pembinaan hukum Islam pada periode Rasulullah saw. antara lain adalah:
1. Perubahan yang ditetapkan dilakukan secara revolusi ataupun bertahap (tadwin) terhadap adat istiadat yang telah mengakar dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah tentang permasalahan minuman khamar dan judi. Pada tahap pertama menjelaskan tentang kerugian yang lebih besar daripada keuntungannya. Pada tahap berikutnya tidak boleh mendekati shalat ketika dalam keadaan mabuk dan pada akhirnya dinyatakan sebagai perbuatan syaitan dan mesti dijauhi. Kemudian penjelasan hukum yang diberikan oleh Rasulullah saw. lebih banyak dalam bentuk pertanyaan yang diajukan dan memerlukan jawaban.
2. Bersifat tegas (evolusioner) dalam bidang-bidang tertentu terutama dalam ibadah maupun aqidah.
3. Metode yang diterapkan dalam penetapan hukum tidak berpandangan picik (berwawasan luas).
 4. Penyederhanaan aturan-aturan atau untuk keringanan manusia. Metode yang diterapkan Rasulullah saw. ini bersandarkan tuntunan Allah swt dalam menerapkan ataupun membina hukum Islam.
Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan.
Sumber/kekuasaan tasyri’ (pembuatan undang-undang) pada periode ini hanya dipegang oleh Rasulullah dan tak seorang pun dari umat Islam, selain beliau dibolehkan menentukan hukum yang berkenaan dengan suatu peristiwa, baik untuk dirinya sendiri, ,ataupun untuk orang lain. Hal ini karena dengan adanya Rasulullah SAW. Di tengah-tengah mereka, yang memudahkan mereka mengembalikan setiap masalah kepada beliau, maka tak seorangpun dari mereka berani berfatwa dari hasil ijtihadnya sendiri dalam suatu peristiwa atau menjatuhkan vonis terhadap suatu persengketaan yang terjadi. Bahkan, kalau mereka (para sahabat) menghadapi suatu peristiwa, terjadi persengketaan, suatu pertanyaan, atau permintaan fatwa, mereka langsung mengembalikan persoalan-persoalan itu pada Rasulullah saw.
Namun demikian sebagian sahabat pernah melakukan ijtihad dan memutuskan sebagian persengketaan dan mengambil suatu hukum. Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di Yaman:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya: “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.
Hal tersebut di atas dan semacamnya tidak berarti menunjukkan bahwa seorang selain Nabi mempunyai wewenang untuk membuat ketentuan hukum, sebab hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, yang tidak memungkinkan untuk menyerahkan permasalahannya kepada Rasulullah saw. Di samping itu, keputusan sahabat itu merupakan penerapan hukum, bukan merupakan suatu tasyri’. Olehnya itu setiap ijtihad sahabat belum merupakan ketetapan yang berlaku bagi umat Islam kecuali bila ada ketetapan dari Rasulullah saw. ijtihad yang dating selain dari beliau baru bisa menjadi tasyri’ kalau sudah ada pengakuan dari beliau.
 Jika disimak hukum Islam seirama dengan dimensinya dalam sejarah, maka isi pengkajian dalam setiap dimensinya mutlak menampakkan berbagai sistem atau metode. Oleh sebab itu, pada zaman Rasulullah saw., hukum Islam secara bersahaja dapat diperoleh berdasarkan wahyu Allah swt dan ijtihad Rasulullah saw, yaitu hukum Islam dalam perspektif Alquran dan Sunah. Masing-masing diyakini oleh umat Islam adalah syari’at Islam, semua tergambar sebagai dalil naqli atau nash-nash.
Pengaturan tentang peraturan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an lebih banyak diungkapkan secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan Nabi. Oleh karena itu, terasa perlu untuk tetap mengkaji sunnah, karena Nabi sebagai mubayyin terhadap al-Qur’an. Sebagian aturan al-Qur’an yang bersifat umum atau yang berbentuk gari-garis besar telah diperjelas secara harfiah oleh Nabi. Akan tetapi kemudian akan muncul permasalahan, karena masih banyaknya juga penjelasan Nabi yang juga memerlukan penalaran.
Pemikiran hukum Islam di masa Nabi belum menampakkan corak pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, karena posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi penjelasan) juga sebagai penetap hukum atau masalah yang muncul. Sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkan kurang bahkan tidak reaksi dalam masyarakat. Pada zaman Nabi, hukum-hukum atau penetapan-penettapan hukum itu masih belum mendapatkan bentuk tertentu. Hukum Islam pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang lahir dari ucapan-ucapan Nabi yang nampak pada tindakan-tindakan Nabi. Beliaulah dan hanya dari beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah dengan para sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.

Sabtu, 22 Desember 2012

MENGUATKAN VISI FILANTROPI TERHADAP ANAK JALANAN



Pengantar


         Filantropi berasal dari bahasa philanthropia atau dalam bahasa Yunani philo dan anthropos yang berarti cinta manusia. Filantropi adalah bentuk kepedulian seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain berdasarkan kecintaan pada sesama manusia (Hilman, 2010 : 34). Tradisi kepedulian ini sebenarnya sudah lama berjalan ditiap dimensi kehidupan manusia, baik yang bersifat individu maupun institusional. Keberadaan kegiatan filontropi ini sudah berjalan dalam bentuk seperti kegiatan sosial, bakti sosial, santunan yatim piatu, pengobatan gratis, bantuan kemanusian bencana alam dan lain sebaginya. Terlepas dari mana istilah tersebut berasal, sebenarnya pelayanan terhadap kemanusian merupakan hal yang tak bisa ditolak, sebagai bentuk sikap kepedulian dan peka terhadap problem kemanusiaan. Dalam ajaran Islam pun juga ditegaskan begitu pentingnya kepedulian sosial, misalnya melalui kewajiban zakat, infaq dan shadaqah yang diperuntukan bagi kaum dhu’afa, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki kepedulian sosial dimasukan kategori orang yang mendustakan agama (baca : al-Qur’an surat al-Ma’un).
Berdasarkan hasil riset PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), setelah tahun 1998 kegiatan filantropi begitu luar biasa berkembang terutama pada saat muncul krisis politik dan diikuti krisis ekonomi, serta bencana terjadi di mana–mana. Hal ini mendorong masyarakat kita lebih peduli dan banyak menyalurkan sumbangan. Kondisi itulah yang memunculkan inisiatif dari beberapa kelompok masyarakat untuk mendirikan berbagai lembaga atau program penggalangan dana. Mulai tahun 1998 hingga sekarang muncul lembaga atau program tersebut, seperti dompet media yang berada di berbagai media. Diluar itu, muncul lembaga amil zakat, dompet duafa, rumah zakat, dan lain–lain. Kepasrahan dan ketidakberdayaan manusia atas kekalahannya dalam konstelasi kompetisi global mengakibatkan jurang kemiskinan semakin tampak terang benderang, semakin terlihat jelas strata sosial dalam kehidupan masyarakat, antara yang kaya dan miskin, dan akibat dari percaturan dunia global ini mengakibatkan munculnya problematika kemanusian ketika berhadapan dengan dinamika kehidupan masyarakat, yang salah satunya adalah munculnya fenomena anak jalanan.
Istilah anak jalanan belum tercantum dalam Undang-Undang Dasar kita, namun dalam Pasal 34 UUD45 disebutkan bahwa : “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dalam konteks ini penting untuk dicermati yaitu siapakah yang dimaksud dengan “anak terlantar”, apakah masuk didalamnya “anak jalanan”? Jika mereka yang termasuk anak jalanan itu mereka yang tidak mempunyai orang tua, atau tidak mendapatkan perhatian orang tua, tidak berada dalam perwalian, apalagi masa depan kehidupannya pun tidak jelas, kesejahteraannya pun memprihatikan, maka sebenarnya mereka itu termasuk anak terlantar yang seharusnya mendapatkan perhatian dari negara. Terlepas persoalan memasukan anak jalanan dalam kategori anak terlantar, faktanya mereka adalah bagian dari fenomena kehidupan saat ini, yang keberadaannya tentu perlu mendapat perhatian dan kepedulian kita semua, baik dari segi kesejahteraan, perkembangan psikologis, perhatian sampai dengan tingkat pendidikan mereka. Sikap yang demikian ini menunjukan adanya mentalitas filantropi ketika melihat fenomena kehidupan anak jalanan yang terkadang memprihatinkan, baik kebutuhan jasasmani, apalagi kebutuhan ruhani spiritulnya.
Sikap filantropi sebenarnya selalu ada sepanjang perjalanan hidup manusia, terutama dalam ajaran Islam, yang dapat menjadi kekuatan, sumber inspirasi dan dapat menjadi ilham, bahwa seorang muslim memiliki tanggung jawab terhadap muslim yang lain—termasuk dalam konteks kemanusiaan tanpa harus memandang suku, budaya dan agamanya. Dan kegiatan filantropi modern di indonesia sebenarnya sudah diawali oleh beberapa organisasi keagamaan, misalnya NU, Muhammadiyah, Hidayatullah dan lainnya, serta beberapa LSM yang mempunyai empati dan mental altruisme terhadap kondisi masyarakat yang diakibatkan adanya ketimpangan sosial. Disinilah pentingnya untuk meneguhkan kembali visi filantropi terutama dalam ajaran Islam yang mampu menjadi daya dorong munculnya kesadaran untuk melakukan pendampingan, perhatian dan empati terhadap masa depan mereka. Anak jalanan, juga merupakan bagian dari anak bangsa yang perlu mendapatkan perhatian bagi semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat luas yang memiliki kepekaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaannya.

Senin, 01 Oktober 2012

PETA GERAKAN PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA



Dewasa ini munculnya pemikiran Islam kontemporer mulai merebak dalam berbagai wajah, mulai dari beredarnya buku-buku yang membahas ide-ide tersebut sampai dengan dikaji dalam forum ilmiah yang digelar diberbagai lingkungan akademis. Gejala ini muncul sebagai respon adanya kemajuan zaman yang mengakibatkan adanya berbagai perubahan dalam tatanan sosial masyarakat,, baik yang menyangkut ideologi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Berbagai perubahan tersebut seolah-olah telah menjauhkan umat dari nilai-nilai keagamaan, yang pada akhirnya menimbulkan persoalan.
Dari persoalan di atas akhirnya muncul satu persoalan lagi ketika adanya suatu kontrol sosial yang mampu mengendalikan gerakan perubahan yang mendasar tersebut. Sementara telah mapannya metodologi pemikiran Barat, ternyata secara faktual lebih mudah diterima dan diaplikasikan dalam kehidupan, karena didukung oleh kekuatan yang bersifat struktural maupun kultural. Sedangkan dikalangan umat Islam dalam menirima model pemikiran Barat tersebut  terasa ada kejanggalan, baik psikolgis, sosiologis maupun politis, Akan tetapi karena belum terwujudnya kosepsi ajaran Islam yang aplikatif , maka dengan rasa berat hati terpaksa mengikuti konsep-konsep yang dirasakan oleh sebagian umat yang tidal Islami, bersumber dari ajaran Kristen, apalagi muncul sangkaan adanya misi agen Yahudi dan lain sebagainya.
Dinamika pemikiran Islam di Indonesia satu dasa warsa belakangan ini, terutama yang berkembang pada intelektual muda sebenarnya juga berakar dari mainstream besar gerakan pembaharuan pemikiran. Islam, terutama ketika terjadi pemetaan pemikiran antara yang “tradisi dan modernitas” (al-turâts wa al-hadâtsah). Isu ini juga tidak bisa dilepaskan dari gelegar pemikiran yang berkembang di Arab. Istilah “tradisi dan modernitas” yang diusung oleh Mohammed Abed Jabiri. digunakan dalam diskursus pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada terma idiomatik yang bervariasi, biasanya digunakan al-turâts wa al-hadâtsah. Secara literal, turâts berarti warisan atau peninggalan (heritage, legacy), yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan/diwariskan oleh orang-orang terdahulu (al-qudama). Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab kontemporer, dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut. Istilah-istilah seperti al-’adah (kebiasaan), ‘urf (adat) dan sunnah (etos Rasul) meskipun mengandung makna tradisi, tetapi tidak mewakili apa yang dimaksud dengan istilah turâts. Begitu juga dalam literatur bahasa-bahasa Eropa, tidak ada variabel yang tepat. Menurut Jabiri, kata legacy dan heritage dalam bahasa Inggris, atau patrimonie dan legs dalam bahasa Perancis tidak mewakili apa yang dipikirkan oleh orang Arab tentang turâts.